Apa yang Anda pelajari dari konsep yang Anda pelajari dalam topik ini?
Dari perspektif pendidikan kritis, faktor ekonomi, politik, sosial, dan budaya sangat memengaruhi eksklusivitas dan kesenjangan dalam proses pembelajaran di sekolah, serta memperparah ketidakmerataan pendidikan. Berikut pengaruh dari masing-masing faktor tersebut :
a. Faktor Ekonomi dalam Kesenjangan Pendidikan
Faktor ekonomi sering kali menjadi penyebab utama ketidakmerataan pendidikan. Sekolah-sekolah yang berada di wilayah dengan ekonomi maju atau berpenghasilan tinggi cenderung memiliki fasilitas yang lebih lengkap, tenaga pengajar yang lebih berkualitas, dan dukungan dana yang memadai. Di sisi lain, sekolah di daerah pedesaan atau miskin kekurangan fasilitas, tenaga pendidik berkualitas, dan dana. Kondisi ini memunculkan fenomena di mana pendidikan lebih dapat diakses oleh mereka yang memiliki "modal ekonomi," sementara kelompok yang kurang mampu sering kali termarginalkan. Hal ini sesuai dengan pandangan Freire (2010) yang menekankan pentingnya ruang emansipasi bagi kelompok tertindas agar dapat menikmati pendidikan yang layak.
b. Faktor Politik dalam Eksklusivitas Pendidikan
Kebijakan pendidikan yang diterapkan seringkali bersifat eksklusif karena adanya pengaruh politik. Kepentingan politik dapat menciptakan kebijakan yang lebih berpihak pada kelompok tertentu, terutama yang memiliki akses ke kekuasaan atau pengaruh politik. Hal ini menyebabkan beberapa sekolah lebih diuntungkan dengan sumber daya yang lebih besar, sementara sekolah-sekolah yang berada di daerah terpencil sering kali diabaikan. Teori Gramsci tentang dominasi kekuasaan mendukung pandangan ini, di mana hegemoni politik berperan dalam membentuk struktur pendidikan yang tidak setara. Kebijakan pemerintah diharapkan lebih adil dan berpihak pada pemerataan pendidikan agar tidak ada kesenjangan antara sekolah di daerah terpencil dan perkotaan.
c. Faktor Sosial dalam Proses Pembelajaran
Faktor sosial yang meliputi status sosial, pekerjaan orang tua, dan latar belakang keluarga juga memainkan peran penting dalam menciptakan kesenjangan. Misalnya, siswa dari keluarga dengan status sosial rendah sering kali harus membantu ekonomi keluarga, yang mengganggu partisipasi mereka dalam pendidikan. Penelitian dari Ratner (2000) mengidentifikasi bahwa anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah sering kali memiliki akses yang lebih terbatas ke guru, duduk di posisi yang jauh dari guru, dan mengalami fasilitas yang kurang layak. Perbedaan perlakuan ini dapat memperburuk persepsi diri dan motivasi belajar mereka, yang akhirnya berdampak pada partisipasi dalam proses pendidikan.
d. Faktor Budaya dalam Ketidakadilan Pendidikan
Budaya dapat menghambat akses pendidikan, terutama bagi kelompok-kelompok yang memiliki nilai budaya tertentu. Di beberapa daerah, anak perempuan lebih cepat dikeluarkan dari pendidikan atau dinikahkan, yang menghambat kesempatan belajar mereka. Budaya lokal juga dapat mempengaruhi kurikulum dan kegiatan pembelajaran, di mana norma dominan sering kali mendikte apa yang diajarkan. Teori pendidikan kritis menekankan pentingnya inklusi budaya minoritas dalam kurikulum agar semua kelompok budaya merasa diakomodasi dan diakui dalam proses pendidikan.
Perbedaan kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan politik antar institusi pendidikan menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia masih belum merata. Penelitian seperti yang dilakukan oleh Irwansyah (2019) menunjukkan bahwa eksklusivitas dalam pendidikan di Indonesia nyata terlihat. Sekolah-sekolah yang berada di daerah perkotaan sering kali memberikan peluang lebih besar bagi siswa dengan latar belakang ekonomi menengah ke atas, sementara anak-anak dari keluarga miskin atau daerah terpencil sulit mendapatkan akses yang sama. Ketimpangan ini memperkuat struktur sosial yang tidak adil, di mana pendidikan, yang seharusnya menjadi alat untuk mobilitas sosial, justru memperburuk kesenjangan sosial.
Sebagai calon guru, penting untuk menyadari dan mengkritisi isu ketidakadilan dalam pendidikan yang terjadi di lingkungan sekitar. Pendidikan seharusnya menjadi sarana inklusif, bukan eksklusif, yang memberikan akses setara bagi semua peserta didik. Kritik utama yang dapat diajukan adalah:
- Mendorong
Pemerataan Anggaran:
Mengadvokasi kebijakan yang mendistribusikan anggaran pendidikan secara
merata di seluruh wilayah.
- Inklusivitas
Budaya dalam Kurikulum:
Mengintegrasikan nilai-nilai budaya lokal dalam kurikulum agar siswa dari
berbagai latar belakang merasa diakomodasi dan dihargai.
- Akses
Pendidikan bagi Kelompok Marjinal: Mendorong kebijakan inklusif yang memberikan prioritas kepada
siswa dari kelompok minoritas, anak perempuan, dan anak-anak dengan
disabilitas untuk mendapatkan pendidikan berkualitas.
Melalui pendekatan pendidikan kritis, peran guru dapat diperluas sebagai agen perubahan yang berupaya menciptakan lingkungan belajar yang adil dan inklusif, di mana semua siswa, tanpa terkecuali, memiliki kesempatan yang setara untuk berkembang sesuai potensinya.
No comments:
Post a Comment