Anak yang tumbuh dalam kondisi ekonomi menengah ke bawah cenderung menghadapi lebih banyak hambatan dalam hal dukungan materi, sehingga sulit mendapatkan akses pendidikan yang lebih baik. Pola interaksi keluarga yang dipengaruhi oleh status sosial-ekonomi akan membentuk nilai, harapan, tuntutan, dan perkembangan kognitif yang berbeda. Sebagai contoh, keluarga dari kelas ekonomi menengah biasanya memiliki peluang keberhasilan yang lebih tinggi dengan menekankan pentingnya pendidikan dan kerja keras untuk masa depan yang lebih baik. Harapan ini tercermin dalam tugas, tuntutan, serta dialog keluarga. Pandangan ini selaras dengan sistem meritokrasi, yang menekankan penghargaan terhadap usaha dan kemandirian untuk mencapai tujuan. Sebaliknya, keluarga dari kelas ekonomi rendah cenderung memiliki pandangan yang berbeda, dengan partisipasi dalam pendidikan formal sering kali terbatas pada tingkat dasar. Artinya, anak-anak yang lahir dari keluarga yang lebih mampu secara ekonomi mempunyai peluang lebih besar untuk berhasil secara akademis. Namun dampak status sosial ekonomi terhadap prestasi akademik siswa berbeda-beda. Untuk memahami peran status sosial-ekonomi dalam keberhasilan pendidikan, pertama-tama kita perlu memahami bagaimana status sosial-ekonomi mencakup berbagai aspek kehidupan siswa dan bagaimana status sosial-ekonomi dapat mempengaruhi hasil akademik
SES
memainkan peran yang signifikan dalam mempengaruhi akses, kualitas, dan hasil
pendidikan khususnya di Indonesia. Secara umum, SES mengacu pada posisi individu atau keluarga dalam
hierarki sosial berdasarkan faktor-faktor seperti pendapatan, pendidikan, dan
pekerjaan. Berikut beberapa cara konsep SES berdampak dalam pendidikan di
Indonesia:
a.
Akses ke Pendidikan
1)
Ketimpangan Akses: Anak-anak dari keluarga dengan
SES rendah seringkali menghadapi kesulitan untuk mengakses pendidikan
berkualitas. Hal ini bisa disebabkan oleh keterbatasan finansial yang membuat
mereka sulit untuk membayar biaya sekolah, buku, seragam, atau biaya lainnya.
2)
Fasilitas Pendidikan: Sekolah-sekolah di daerah
terpencil atau dengan populasi yang memiliki SES rendah sering kali memiliki
fasilitas yang terbatas dibandingkan dengan sekolah di daerah perkotaan atau
yang dilayani oleh masyarakat dengan SES tinggi.
b.
Kualitas Pendidikan
1) Guru dan
Pengajaran: Sekolah di daerah dengan SES rendah seringkali kekurangan guru yang
berkualitas, baik dari segi jumlah maupun kompetensi. Di sisi lain,
sekolah-sekolah dengan SES tinggi biasanya memiliki guru yang lebih
berpengalaman dan pelatihan yang lebih baik.
2) Kurangnya
Sumber Daya: Sekolah-sekolah di lingkungan dengan SES rendah mungkin memiliki
sumber daya terbatas seperti akses ke teknologi, bahan ajar, laboratorium, atau
perpustakaan yang memadai.
c.
Kesenjangan Hasil Pendidikan
1)
Prestasi Akademik: Anak-anak dari keluarga dengan
SES tinggi cenderung memiliki akses lebih baik ke bimbingan belajar, lingkungan
rumah yang mendukung, serta kegiatan ekstrakurikuler yang memperkaya
pembelajaran mereka. Hal ini berdampak pada hasil akademik yang lebih baik
dibandingkan anak-anak dari keluarga dengan SES rendah. Prestasi kelak
berpengaruh pada pekerjaan yang didapatkan dan berpengaruh kepada pendapatan.
2) Dropout dan Partisipasi Sekolah: Anak-anak dari keluarga dengan SES rendah lebih berisiko putus sekolah karena berbagai faktor, termasuk kebutuhan ekonomi keluarga yang memaksa mereka untuk bekerja sejak usia dini.
Penerapan
strategi pembelajaran inklusif dalam konteks perbedaan status sosial ekonomi
(SES) di Indonesia mulai berkembang dalam beberapa sekolah, terutama yang
mendukung pendidikan inklusi. Sekolah-sekolah ini berusaha menyesuaikan
pendekatan mereka terhadap kebutuhan siswa yang berasal dari latar belakang
ekonomi yang beragam, untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih adil dan
merata.
Sebagai
contoh, SD Negeri 1 Tanjung di Purwokerto adalah salah satu sekolah yang
mengimplementasikan pendidikan inklusi dengan strategi pembelajaran adaptif.
Guru-guru di sana berupaya menyesuaikan metode pengajaran dengan kondisi
individu setiap siswa, termasuk siswa yang kesulitan belajar. Ini menunjukkan
adanya adaptasi pembelajaran yang memperhatikan kebutuhan spesifik siswa dari
berbagai latar belakang, termasuk SES rendah, sehingga mereka tetap bisa
mendapatkan pengalaman pendidikan yang setara dengan siswa lainnya.
Pembelajaran di sekolah ini lebih berorientasi pada kebutuhan individu daripada
mengikuti metode umum yang mungkin tidak sesuai untuk semua siswa
Di kota
lain, seperti Yogyakarta dan Bandung, sekolah-sekolah yang menerapkan
pendidikan inklusif juga mengembangkan pendekatan pengajaran yang bersifat
kolaboratif, di mana guru pendamping berperan penting dalam membantu siswa yang
memiliki kebutuhan khusus serta siswa dari latar belakang sosial ekonomi yang
kurang beruntung. Strategi ini mencakup penggunaan metode pembelajaran
kooperatif dan diferensiasi dalam pengajaran, yang memungkinkan guru memberikan
dukungan yang lebih personal
Penelitian
lain juga menunjukkan bahwa keberhasilan pendidikan inklusi dalam menghadapi
tantangan perbedaan SES sangat dipengaruhi oleh kompetensi guru dan kolaborasi
antara pihak sekolah, orang tua, dan komunitas. Guru diharapkan tidak hanya
memiliki keterampilan mengajar yang baik tetapi juga memahami tantangan
sosial-ekonomi yang dihadapi siswa mereka
Secara keseluruhan, meskipun tantangan besar masih ada dalam pelaksanaan strategi inklusif yang mempertimbangkan perbedaan SES, beberapa sekolah di Indonesia mulai berhasil menciptakan lingkungan belajar yang lebih adil dan inklusif.
DAFTAR PUSTAKA
Nugroho,, A., & Mareza, L.
(2017). MODEL DAN STRATEGI PEMBELAJARAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS. Jurnal
Pendidikan Dasar PerKhasa, 145-156.
Prastiwi, Z., & Abduh, M.
(2013). ImplementasiPembelajaran Inklusi di Sekolah Dasar. Jurnal
Elementaria Edukasia, 668-682.
Rusmono, D. O. (2020). Optimalisasi
Pendidikan Inklusi di Sekolah: Literature Review. J u r n a l M a n a j e
m e n P e n d i d i k a n, 209-217.
Yusuf, M., Choiri, S., &
Supratiwi, M. (2017). Evaluasi Kebijakan Pendidikan Inklusif di Tingkat
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah di Indonesia. JURNAL PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN PENDIDIKAN LUAR BIASA, 4(2): 147-154.
No comments:
Post a Comment